Kejahatan yang di media sosial
Jakarta - Kasus bunuh diri Amanda Todd dalam usia sangat dini di Kanada menjadi peringatan bagi kita semua, bahwa media sosial dapat digunakan untuk maksud jahat. Akhir hidup Todd yang tragis, semua berawal dari bully di dunia nyata yang juga terjadi di media sosial.
Video kesaksian Todd yang sangat menyentuh dapat disimak di sini. Mengapa semua ini terjadi? Bagaimana mencegah kejahatan di media sosial? Mari kita simak.
Genealogi Kejahatan: Era Media Sosial Melahirkan Modus Baru
Memang, kejahatan yang terjadi dalam konteks media sosial ini awalnya terbatas pada bullying, yang umumnya terjadi pada usia dewasa muda (ABG). Namun pada akhirnya banyak yang berujung pada kriminalitas, seperti pembunuhan atau paling tidak percobaan pembunuhan. Ada juga yang berakhir pada bunuh diri seperti kasus Amanda Todd.
Terlepas dari apa yang terjadi di media sosial, kriminalitas adalah bagian sehari-hari dari apa yang dapat ditemui pada dunia nyata. Bullying adalah fenomena yang sangat jamak terjadi pada sistem pendidikan kita, dan juga negara lain.
Walaupun otoritas pendidikan/pemerintah sudah memberikan sanksi tegas bagi pelaku bullying, seakan sanksi tersebut dianggap sepi oleh pelaku lainnya. Sehingga, bullying tetap saja terjadi.
Fenomena ospek pada institusi pendidikan, yang seharusnya dimanfaatkan untuk mengenalkan kehidupan sekolah atau kuliah pada peserta didik yang baru, terkadang sering dimanfaatkan oleh oknum untuk melakukan bullying.
Satu hal yang sangat mengerikan, efek kejahatan dari bullying menjadi termagnifikasi dengan kehadiran media sosial. Ini seyogyanya ditekankan bahwa media sosial bukanlah suatu 'dunia' yang otonom dan berdiri sendiri terhadap dunia nyata, namun media sosial adalah 'dunia' yang memiliki interkonektivitas dan dialektika dengan dunia nyata.
Kasus Amanda Todd ternyata juga terjadi di bagian dunia yang lain. Baru beberapa waktu yang lalu, sepasang pemuda Belanda ditangkap karena terlibat pembunuhan seorang pemuda yang lain. Kasus pembunuhan tersebut dipicu oleh bullying di facebook, yang berakhir pada pembunuhan di dunia nyata.
Tidak hanya itu, Presiden Amerika Serikat Barack Obama juga pernah menerima ancaman pembunuhan dari media sosial. Tentu dalam kasus Obama, Secret Service bertindak cepat untuk mengamankan sang pengancam.
Peristiwa kejahatan di media sosial juga sudah beberapa kali menghiasi media kita, termasuk percobaan pembunuhan dan bullying. Di Tanah Air, kasus penculikan dan pemerkosaan terhadap siswi SMP dan SMA pernah terjadi di Depok dan Lampung. Di Jakarta, hal yang sama juga pernah terjadi.
Percobaan pembunuhan setelah berkenalan via media sosial juga terjadi di Yogyakarta. Sejauh sepengetahuan kami, di daerah lain pun juga terjadi. Berhubung kasus kriminalitas melalui media sosial sudah terjadi di Indonesia, maka hal ini juga seyogyanya menjadi perhatian dan keprihatinan kita semua.
Sebelum media sosial lahir, kejahatan yang bersifat lintas daerah atau lintas benua lebih sukar dilakukan. Walau tentu saja kita mengenal kasus serial killer pra-medsos seperti yang dilakukan oleh Ted Bundy, namun sang penjahat harus mengeluarkan upaya ekstra untuk melakukan kejahatan skala besar.
Pencarian korban selanjutnya misalnya, jelas tidak mudah, karena harus membuka buku telpon atau media konvensional lainnya. Mengerikannya, media sosial memberikan 'tools' bagi penjahat untuk menjadi predator yang bersifat 'lintas daerah', bahkan 'lintas benua'.
Kasus Amanda Todd dapat menjadi cermin dari hal tersebut, karena walaupun Todd sudah pindah sekolah ke daerah lain, sang penjahat tetap dapat membully Todd via media sosial.
Pada akhirnya media sosial, sebagai teknologi, sudah tidak menjadi 'bebas nilai' ataupun 'netral'. Ketika kejahatan memasuki ranah media sosial, di saat itu kita harus menunjukkan keberpihakan. Bagaimana berpihak dalam menghadapi kejahatan seperti itu?
User & Kontrol Privasi
Media sosial, sebagai produk teknologi, memiliki setting privasi yang dapat diatur. Twitter contohnya, dapat mengatur supaya akun kita dilock, sehingga request follow memerlukan persetujuan.
Sementara Facebook juga dapat diatur supaya visibility profil kita dibatasi. Google+ memiliki fitur 'circle' untuk membatasi akses terhadap profil dan status kita. Namun, memang untuk memahami setting ini, user dituntut untuk proaktif dalam mencari informasi.
Untunglah, toko buku dan perpustakaan sudah meynediakan informasi untuk itu. Sementara itu, 'googling' juga dapat membantu kita untuk mendapatkan info mengenai setting media sosial.
Pemahaman terhadap setting privasi akan sangat membantu kita untuk menangkal predator dunia maya. Namun, apakah sekadar pemahaman sudah cukup untuk hadapi kejahatan di media sosial? Bagaimana memberi kesadaran pada user, terutama pada tingkat dewasa muda (ABG), bahwa privacy setting ini penting?
Parental Guidance & Advokasi
Sesungguhnya, sekolah yang sejati bagi setiap anak, adalah rumah sendiri, dan guru sejati bagi setiap anak, adalah orang tua masing-masing. Oleh karena itu, peran orang tua dalam membimbing anak dalam menggunakan media sosial sangatlah penting.
Perlu ada kesepakatan dengan anak, kapan waktu menggunakan media sosial, kapan waktu belajar, dan kapan waktu untuk bermain bersama teman di dunia nyata. Dalam hal ini, orang tua janganlah menjadi gaptek.
Bimbinglah anak dalam menggunakan media sosial dan berikanlah kesadaran pada mereka, bahwa jika ada ancaman, untuk segera diberitahu kepada orang tua secara jujur.
Di sisi lain, gerakan/program internet Sehat dari ICT Watch perlu dicontoh. Mereka sudah sering mengadakan advokasi bagi para blogger atau netters yang haus informasi mengenai internet yang lebih aman, sehat, dan mencerahkan. Informasi lebih lengkap mengenai internet sehat, dapat diklik di sini.
Simpul yang tak kalah penting juga adalah peran advokasi dari lembaga pendidikan, baik swasta ataupun negeri. Mungkin perlu dipertimbangkan, supaya dalam kurikulum pengajaran ICT diintegrasikan juga mengenai media sosial.
Hal ini penting, supaya siswa mendapatkan dasar mengenai setting privasi dan hal-hal yang dapat mengamankan diri mereka dari predator dunia maya. Otoritas hukum, baik itu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, juga memegang peranan penting dalam membentengi setiap warga negara dari predator dunia maya.
Divisi Cybercrime dari setiap otoritas hukum perlu menjadikan media sosial sebagai salah satu target monitoring mereka.
Pada akhirnya, kerja sama orang tua, sekolah, LSM, dan pemerintah/otoritas merupakan resep yang paling manjur dalam membentengi anak-anak kita dari predator dunia maya.
Hal ini jelas penting, sebab masa depan anak-cucu kita sangat tergantung dari bagaimana mereka mengamankan diri mereka terhadap ekses negatif dari teknologi.
Video kesaksian Todd yang sangat menyentuh dapat disimak di sini. Mengapa semua ini terjadi? Bagaimana mencegah kejahatan di media sosial? Mari kita simak.
Genealogi Kejahatan: Era Media Sosial Melahirkan Modus Baru
Memang, kejahatan yang terjadi dalam konteks media sosial ini awalnya terbatas pada bullying, yang umumnya terjadi pada usia dewasa muda (ABG). Namun pada akhirnya banyak yang berujung pada kriminalitas, seperti pembunuhan atau paling tidak percobaan pembunuhan. Ada juga yang berakhir pada bunuh diri seperti kasus Amanda Todd.
Terlepas dari apa yang terjadi di media sosial, kriminalitas adalah bagian sehari-hari dari apa yang dapat ditemui pada dunia nyata. Bullying adalah fenomena yang sangat jamak terjadi pada sistem pendidikan kita, dan juga negara lain.
Walaupun otoritas pendidikan/pemerintah sudah memberikan sanksi tegas bagi pelaku bullying, seakan sanksi tersebut dianggap sepi oleh pelaku lainnya. Sehingga, bullying tetap saja terjadi.
Fenomena ospek pada institusi pendidikan, yang seharusnya dimanfaatkan untuk mengenalkan kehidupan sekolah atau kuliah pada peserta didik yang baru, terkadang sering dimanfaatkan oleh oknum untuk melakukan bullying.
Satu hal yang sangat mengerikan, efek kejahatan dari bullying menjadi termagnifikasi dengan kehadiran media sosial. Ini seyogyanya ditekankan bahwa media sosial bukanlah suatu 'dunia' yang otonom dan berdiri sendiri terhadap dunia nyata, namun media sosial adalah 'dunia' yang memiliki interkonektivitas dan dialektika dengan dunia nyata.
Kasus Amanda Todd ternyata juga terjadi di bagian dunia yang lain. Baru beberapa waktu yang lalu, sepasang pemuda Belanda ditangkap karena terlibat pembunuhan seorang pemuda yang lain. Kasus pembunuhan tersebut dipicu oleh bullying di facebook, yang berakhir pada pembunuhan di dunia nyata.
Tidak hanya itu, Presiden Amerika Serikat Barack Obama juga pernah menerima ancaman pembunuhan dari media sosial. Tentu dalam kasus Obama, Secret Service bertindak cepat untuk mengamankan sang pengancam.
Peristiwa kejahatan di media sosial juga sudah beberapa kali menghiasi media kita, termasuk percobaan pembunuhan dan bullying. Di Tanah Air, kasus penculikan dan pemerkosaan terhadap siswi SMP dan SMA pernah terjadi di Depok dan Lampung. Di Jakarta, hal yang sama juga pernah terjadi.
Percobaan pembunuhan setelah berkenalan via media sosial juga terjadi di Yogyakarta. Sejauh sepengetahuan kami, di daerah lain pun juga terjadi. Berhubung kasus kriminalitas melalui media sosial sudah terjadi di Indonesia, maka hal ini juga seyogyanya menjadi perhatian dan keprihatinan kita semua.
Sebelum media sosial lahir, kejahatan yang bersifat lintas daerah atau lintas benua lebih sukar dilakukan. Walau tentu saja kita mengenal kasus serial killer pra-medsos seperti yang dilakukan oleh Ted Bundy, namun sang penjahat harus mengeluarkan upaya ekstra untuk melakukan kejahatan skala besar.
Pencarian korban selanjutnya misalnya, jelas tidak mudah, karena harus membuka buku telpon atau media konvensional lainnya. Mengerikannya, media sosial memberikan 'tools' bagi penjahat untuk menjadi predator yang bersifat 'lintas daerah', bahkan 'lintas benua'.
Kasus Amanda Todd dapat menjadi cermin dari hal tersebut, karena walaupun Todd sudah pindah sekolah ke daerah lain, sang penjahat tetap dapat membully Todd via media sosial.
Pada akhirnya media sosial, sebagai teknologi, sudah tidak menjadi 'bebas nilai' ataupun 'netral'. Ketika kejahatan memasuki ranah media sosial, di saat itu kita harus menunjukkan keberpihakan. Bagaimana berpihak dalam menghadapi kejahatan seperti itu?
User & Kontrol Privasi
Media sosial, sebagai produk teknologi, memiliki setting privasi yang dapat diatur. Twitter contohnya, dapat mengatur supaya akun kita dilock, sehingga request follow memerlukan persetujuan.
Sementara Facebook juga dapat diatur supaya visibility profil kita dibatasi. Google+ memiliki fitur 'circle' untuk membatasi akses terhadap profil dan status kita. Namun, memang untuk memahami setting ini, user dituntut untuk proaktif dalam mencari informasi.
Untunglah, toko buku dan perpustakaan sudah meynediakan informasi untuk itu. Sementara itu, 'googling' juga dapat membantu kita untuk mendapatkan info mengenai setting media sosial.
Pemahaman terhadap setting privasi akan sangat membantu kita untuk menangkal predator dunia maya. Namun, apakah sekadar pemahaman sudah cukup untuk hadapi kejahatan di media sosial? Bagaimana memberi kesadaran pada user, terutama pada tingkat dewasa muda (ABG), bahwa privacy setting ini penting?
Parental Guidance & Advokasi
Sesungguhnya, sekolah yang sejati bagi setiap anak, adalah rumah sendiri, dan guru sejati bagi setiap anak, adalah orang tua masing-masing. Oleh karena itu, peran orang tua dalam membimbing anak dalam menggunakan media sosial sangatlah penting.
Perlu ada kesepakatan dengan anak, kapan waktu menggunakan media sosial, kapan waktu belajar, dan kapan waktu untuk bermain bersama teman di dunia nyata. Dalam hal ini, orang tua janganlah menjadi gaptek.
Bimbinglah anak dalam menggunakan media sosial dan berikanlah kesadaran pada mereka, bahwa jika ada ancaman, untuk segera diberitahu kepada orang tua secara jujur.
Di sisi lain, gerakan/program internet Sehat dari ICT Watch perlu dicontoh. Mereka sudah sering mengadakan advokasi bagi para blogger atau netters yang haus informasi mengenai internet yang lebih aman, sehat, dan mencerahkan. Informasi lebih lengkap mengenai internet sehat, dapat diklik di sini.
Simpul yang tak kalah penting juga adalah peran advokasi dari lembaga pendidikan, baik swasta ataupun negeri. Mungkin perlu dipertimbangkan, supaya dalam kurikulum pengajaran ICT diintegrasikan juga mengenai media sosial.
Hal ini penting, supaya siswa mendapatkan dasar mengenai setting privasi dan hal-hal yang dapat mengamankan diri mereka dari predator dunia maya. Otoritas hukum, baik itu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, juga memegang peranan penting dalam membentengi setiap warga negara dari predator dunia maya.
Divisi Cybercrime dari setiap otoritas hukum perlu menjadikan media sosial sebagai salah satu target monitoring mereka.
Pada akhirnya, kerja sama orang tua, sekolah, LSM, dan pemerintah/otoritas merupakan resep yang paling manjur dalam membentengi anak-anak kita dari predator dunia maya.
Hal ini jelas penting, sebab masa depan anak-cucu kita sangat tergantung dari bagaimana mereka mengamankan diri mereka terhadap ekses negatif dari teknologi.
0 komentar:
Post a Comment